Haruskah ada SAKSI yang menandatangani SURAT PERJANJIAN?
Gambar Kantor Hukum RZ & Partners : Surat Perjanjian |
Apakah Saksi WAJIB ada dan Ikut menandatangai Surat Perjanjian
PENGANTAR :
Seringkali pada kalangan umum ketika membuat suatu surat perjanjian kebingungan atau menjadi ragu-ragu, sehingga muncul pertanyaan apakah harus saksi ikut serta menandatangani surat perjanjian? dan apakah surat perjanjian menjadi tidak sah jika tidak ada saksi yang ikut menandatangani perjanjian tersebut?
Baiklah, analishukum.com akan menjawab keraguan tersebut dan dapat anda jadikan sebagai referensi apabila dikemudian hari akan membuat surat perjanjian;
PERTANYAAN/POKOK MASALAH :
Ketika orang-orang atau pihak-pihak hendak membuat suatu perjanjian atau telah membuat suatu perjanjian, ada muncul keraguan tentang sah atau tidaknya surat perjanjian jika tidak ada saksi yang ikut serta menandatangani surat perjanjian tersebut;
Apakah Surat Perjanjian tetap Sah jika saksi tidak ikut menandatangani Surat Perjanjian? Haruskah Surat Perjanjian ditandatangani Saksi?
EXPLANATION
ANALISA MASALAH :
Pada Prinsipnya keraguan tentang sah atau tidaknya suatu perjanjian, tepat atau tidaknya suatu perjanjian, atau keraguan lainnya dalam pembuatan perjanjian muncul dikarenakan kurangnya pemahaman tentang Hukum khususnya syarat sah suatu perjanjian dan/atau kurangnya pengalaman tentang hal tersebut;
Seyogianya kalangan umum yang tidak belajar hukum akan paham secara logika bahwa suatu perjanjian agar tidak menjadi kabur atau agar tidak ada bantahan tentang yang diperjanjikan maka diperlukan saksi untuk menguatkan hal yang diperjanjikan serta tidak menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan;
ANALISA HUKUM :
Terhadap isi Perjanjian atau hal-hal yang diperjanjikan berlaku Azas Kebebasan Berkontrak, dan terhadap sah atau tidaknya suatu perjanjian, maka para pihak atau pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian tunduk pada ketentuan Hukum yang berlaku, dalam hal ini adalah Ketentuan Hukum Perdata;
Adapun Syarat Sah Perjanjian ada 4 (empat) :
- Adanya Kesepakatan;
- Cakap/Kecakapan;
- Adanya Suatu Hal Tertentu;
- Oleh Sebab yang Halal
UNGGULAN : Jika anda tertarik Seputar Pengetahuan Hukum, anda dapat Mengikuti Channel YouTube Analis Hukum, atau ikuti TikTok AnalisHukum.com
Subjektif berarti menurut pandangan pihak itu sendiri, berasal dari pihak itu sendiri, tidak langsung mengenai pokok atau halnya, maksudnya dikatakan syarat subjektif tidak terpenuhi apabila ada perasaan/ yang merasa dirugikan dari salah satu pihak, terhadap kebebasannya dalam membuat kontrak/perjanjian menjadi hilang atau hak-haknya yang semestinya dapat menjadi kerugian baginya permisalannya : suatu perjanjian dibuat dipengaruhi adanya tekanan maka hal teresbut tidak memenuhi syarat sah perjanjian yakni "adanya kesepakatan", pihak yang dalam tekanan tentunya tidak secara merdeka atau tidak dalam kebebasan dalam menentukan suatu perjanjian, atau seseorang membuat suatu perjanjian sementara orang tersebut tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, misalnya saja ia belum dewasa atau bukan merupakan orang yang mampu atau sanggup untuk melakukan sesuatu yang diperjanjikan (contoh seorang karyawan yang tidak memiliki surat kuasa/tidak berhak mewakili perusahaan akan tetapi ia membuat perjanjian kerjasama dengan pihak lain);
Objektif lebih dimaknai kepada yang bukan berasal dari pandangan dirinya (pribadinya) apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian Batal Demi Hukum karena kewajiban tunduk pada norma-norama, ketentuan hukum/perundang-undangan yang berlaku;
Dapat Dibatalkan (Voidable) maksudnya salah satu orang atau salah satu Pihak (yang merasa dirugikan) dapat memintakan pembatalan atas Perjanjian yang telah dibuat, dan Batal Demi Hukum (Null and Void) artinya sejak semula perjanjian yang telah dibuat dianggap tidak ada, atau dianggap tidak pernah ada suatu perjanjian yang telah dibuat sehingga perjanjian yang telah dibuat menjadi tidak mengikat sama sekali;
Kedua hal tersebut tetap mesti melewati Putusan Pengadilan, konsep batal demi hukum sering disalahpahami dalam penerapannya, karena makna batal hukum itu sendirilah yang seringkali menjadi kesalahpahaman, meski makna batal dari hukum adalah dianggap tidak pernah ada suatu perbuatan hukum tertentu dalam hal ini adalah perjanjian tapi bukan berarti kebatalan demi hukum tersebut bukan berarti terjadi secara sendiri karena hukum melainkan keadaan konteks batal demi hukum adalah suatu kondisi yang secara nyata masih perlu tindakan untuk pengajuan pembatalan kepada suatu badan peradilan;
Setelah semua Syarat Sah Perjanjian terpenuhi maka mereka yang sepakat membuat perjanjian tersebut WAJIB menaati isi perjanjian karena mengikat mereka yang membuatnya dan menjadi undang-undang bagi mereka, oleh karenanya mereka (yang menjadi pihak-pihak didalam perjanjian) Patuh dan Tunduk serta terikat pada perjanjian yang telah dibuatnya.
KESIMPULAN & SARAN :
- Bahwa dalam Surat Perjanjian tidak mengharuskan adanya Saksi yang menandatangani Surat Perjanjian, Perjanjian akan tetap sah dimata hukum sepanjang memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif (Syarat Sah Perjanjian), kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan maka saksi menjadi wajib untuk menandatangani suatu surat perjanjian atau sejenisnya (Contoh : Surat Perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris, atau akta-akta lainnya yang setingkat maupun sejenis);
- Meskipun Surat Perjanjian telah Sah dan sesuai dengan Kaidah pembuatan Suatu Perjanjian dan tidak ada kewajiban atau keharusan saksi untuk menandatangani Surat Perjanjian, akan tetapi suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum atau suatu produk hukum untuk dapat dikuatkan dalam hal pembuktian tetap memerlukan Saksi-Saksi, dan kedudukan Saksi menjadi sangat penting untuk itu;
- Menjadi pilihan tersendiri bagi pembuat surat perjanjian, apaila memungkinkan dan dengan tujuan untuk mempermudah serta menguatkan dalam hal pembuktian (apabila terjadi suatu hal diluar dari seharusnya yang menjadi prestasi atau kewajiban dari pembuat perjanjian atau diluar harapan terhadap suatu perjanjian) maka dapat dianjurkan saksi ikut serta menandatangani suatu perjanjian tersebut (mengurangi potensi wanprestasi dan lain sebagainya), meski demikian (dengan ditandatangani oleh saksi sekalipun) tidak menjadi kewajiban pula ketika terjadi suatu gugatan terhadap perjanjian tersebut harus saksi yang menandatangani itu yang dihadirkan untuk memberikan keterangan (kesaksian) dalam persidangan akan tetapi saksi tersebut setidaknya akan dapat menjadi penguatan dalam suatu perjanjian yang telah dibuat (penguatan dalam hal pengakuan perjanjian, persamaan penafsiran, perbuatan pemenuhan prestasi dengan sebaik-baiknya);
- Apabila Surat Perjanjian dibuat dibawah tangan dianjurkan adanya saksi ikut serta menandatangani surat tersebut, apabila dan tidak ada saksi yang turut hadir atau turut menandatangani guna kenyamanan bersama maka dapat dianjurkan agar dilakukan waarmerking di Notaris (melakukan proses registrasi atau mendaftarkan suatu perjanjian yang dibuat dibawah tangan, dicatat pada buku khusus Notaris) atau tidak salah pula menyisihkan waktu dan uang untuk minta dibuatkan perjanjian di hadapan Notaris.
DASAR HUKUM :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : Pasal 1320 KUHPerdata sebagaimana berbunyi Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (KUHPerd. 28, 1312 dst.) 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (KUHPerd. 1329 dst.) 3. suatu pokok persoalan tertentu; (KUHPerd. 1332 dst.) 4?. suatu sebab yang tidak terlarang. (KUHPerd. 1335 dst.)
Demikian semoga membantu dan menjadi ketaatan hukum bagi kita semua, Salam Soliditas Hukum, Terima Kasih dan Sampai Jumpa.
---RZP---
Post a Comment for "Haruskah ada SAKSI yang menandatangani SURAT PERJANJIAN? "
Berkomentarlah secara Bijaksana